Jumat, 13 Maret 2015

Drama Musikalisasi Puisi - Ujian Praktek B. Indonesia

Drama Musikalisasi Puisi Kelompok Amir Hamzah
  • Tema: Ibu
  • Judul: Terimakasih Ibu
  • Peran:
  1. Annisa Astria sebagai Ibu
  2. Roberto Hasudungan sebagai anak pertama (pengusaha)
  3. Mardiantina sebagai anak kedua (psikolog)
  4. Soraya Nur Ishmah sebagai anak ketiga (pramugari)
  5. Yurida Afrilia sebagai anak bungsu
  6. Shalista Maulid sebagai adik ibu
  7. Nadya Rizky sebagai pembaca puisi
  8. M. Dzaky sebagai kameramen
  • Naskah Drama:

     Suatu hari di sebuah desa tinggalah seorang ibu bersama empat orang anaknya, ketiga orang anaknya sudah mulai beranjak dewasa, mereka hendak pergi untuk mengadu nasib di kota.

Soraya : “ Bu… “

Ibu : “ Loh, kalian mau kemana? Mengapa kalian membawa barang-barang kalian?”

Roberto : “ Kami hendak pergi ke kota, Bu.”

Ibu : “ Mau apa ke kota?”

Roberto: “Kami ingin mencari uang dan membahagiakan Ibu.”

Ibu: “Ibu sudah bahagia bersama kalian.”

Soraya: “Tapi kami mau membanggakan Ibu dengan usaha kami sendiri.”

Nana: “Kami janji Bu, kami akan kembali.”

Roberto: “ Dan kami akan membanggakan Ibu.”

Anak-Anak: “Doakan kami ya, Bu.. (serempak)”
      
     Walaupun dengan berat hati, Ibu itu melepas kepergian ketiga anaknya.


     Setahun Kemudian...


(monolog1)
Roberto pulang dari kantornya dan masuk ke ruang kerjanya.

Roberto : “Huh, pulang kantor tetap aja ke ruangan ini, aku bosan, aku jenuh , aku ingat saat dirumah ibu selalu menyemangatiku saat aku lelah, aku ingin pulang, (menghela nafas ) aku ingin telepon adik, kali saja dia mau ikut aku untuk pulang minggu depan. (berbicara melalui telepon) Hallo? Adik? Aku ingin pulang minggu depan kamu mau ikut? Oh, iya bagus - bagus nanti kita ketemu ya? Oke.”  

(monolog2)

Soraya pulang ke rumahnya setelah selesai bertugas sebagai pramugari di sebuah maskapai penerbangan.
Soraya : “(menghela nafas) Perjalanan ini begitu melelahkan aku terbang diudara berjam-jam, keadaan ini membuatku rindu kepada ibu, ibuku apa kabar? (tiba-tiba telepon berdering) Wah kebetulan abang menelepon, (mengangkat telepon) Hallo, abang? Ya, aku ingin sekali ketemu ibu, baiklah kalau begitu minggu depan kita bertemu ibu, akan aku kabari kak Nana segera, baiklah terimakasih bang, sampai jumpa.

(monolog3)

Nana sedang mengobrol bersama temannya setelah selesai praktik sebagai psikolog di sebuah rumah sakit. Ketika sedang mengobrol, temannya mendapat telepon dari ibunya yang mengharuskannya segera pulang. ketika itu Nana jadi teringat akan keadaan ibunya di desa yang sudah lama tak dikunjunginya.
Nana : “Ibu, ibuku sekarang keadaannya bagaimana? Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, aku kangen ibu”


     Sementara itu dirumah ibunya….


Ibu: (batuk – batuk)

Shalista: “ Kaka gapapa ?”

Ibu : “Tidak apa- apa” (sembari jalan menuju kamar)

     Di kamar...

Ibu : “ Rumah ini begitu sepi ya, tidak ada anak-anak, aku rindu pada anak-anakku, bagaimana keadaan mereka disana?

Shalista : “ Kakak tenang saja mereka pasti kembali, kan disini masih ada aku dan si bungsu.”

Ibu : “Tapi anakku bukan hanya satu, merekapun anak-anakku aku rindu terhadap mereka.”

Shalista: “ Aku tau kak, tetapi mereka merantau untuk masa depan mereka, mereka pasti kembali”

Ibu : (batuk-batuk)

Shalista : “ Kakak kenap? Aku ambilkan minum dulu ya sebentar.”


     Beberapa saat kemudian si bungsu dating menghampiri ibunya….


Yurida : “ Ibu, Ibu kenapa ?”

Ibu : “ Tidak apa-apa nak mari duduk disebelah ibu nak.”

Yurida : “ Ibu, ibu kenapa ?”

Ibu : “ Hmm.. sudahlah lupakan saja, sini ibu sisiri, rambutmu berantakan ( menyisir rambut si bungsu ) tapi, sebenarnya ibu rindu dengan kakak-kakakmu.”

Yurida : “ Iya bu aku pun merindukan mereka, kapan mereka pulang.”

Ibu : “ Ibu tak tahu nak, ibu pun tidak tau apakah mereka masih ingat ibu atau tidak.”

Yurida : “ Ya sudahlah bu, jangan bersedih kan masih ada aku.” ( lalu mereka berpelukan )
     Tiba-tiba Shalista datang.
 
Shalista : ( mengetuk pintu ) “ Kak, ada yang ingin bertemu.”

Annisa : “Siapa?”


     Tak disangka ternyata anak-anaknya datang, mereka pun masuk satu persatu..

Roberto, Soraya dan Nana : “Bu, kita pulang.”

Yurida : “ Kakak... Bu, kakak pulang.”

Annisa : “ Kemana saja kalian selama ini ? mengapa kalian baru pulang sekarang?.”

Roberto: “ Maafkan kami bu, sebenarnya kami ingin sekali pulang tetapi pekerjaan kami menuntut kami untuk tidak pulang dalam waktu dekat.”

Soraya : “ Maafkan kami bu, kami seharusnya tidak seperti itu.”

Mardiantina : “ Terimakasih ya bu berkat do’a ibu kami bisa seperti ini.”

Soraya,Roberto, dan Mardiantina : “Maafkan kami ya bu.”
     Akhirnya anak-anaknya kembali dan sang Ibu pun senang karena bisa berkumpul bersama lagi...

  • Musik dan Lagu:

Terimakasih Ibu

Lagu asli : One Ok Rock (Whatever You Are) 
Arransement : Roberto H.
 
          Belaian Kasihmu Ibu

          Cinta dan sayangmu

          Ibu…. Ibu….

          Tak Tergantikan


          Kaulah Segalanya Ibu

          Didalam hidupku

          Ibu… Ibu…

          Kau Malaikat dihidupku


          Reff :

          Terimakasih atas segalanya

          Kasih sayangmu takkan kulupakan

          Slalu kusimpan dihati dirimu oh ibu

          Karna kaulah segala-galanya bagiku


          Terimakasih atas segalanya

          Peluk hangatmu slalu kurindukan

          Sorot matamu, senyummu hiasi hariku

          Sungguh aku sayang kepadamu


          Cahaya matamu Ibu

          Bagai sinar mentari

          Ibu..Ibu..

          Kau menerangi hidupku


          Tak perduli sakit yang kau rasa Ibu

          Kau tetap merawatku

          Trimakasih oh ibu

          Kucinta padamu

  • Puisi:

Terimakasih Ibu 

Ciptaan : Nadya Rizky Amalia

          Ibu ….

          Kau segalanya bagiku

          Kau malaikat di hidupku

          Kau anugrah terbesar yang aku miliki


          Ibu…

          Terimakasih atas peluk hangatmu

          Terimakasih atas kasih sayangmu

          Terimakasih atas segalanya

          Aku sayang ibu

  • Amanat: 
        Meskipun kita jauh dengan orang tua kita, jangan pernah melupakan apapun yang telah mereka berikan pada kita. Karena, tanpa doa dan restu orang tua kita tidak bisa menjadi sesuatu.

Biografi Tengkoe Amir Hamzah

Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 – meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun). Ia adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan Nasional Indonesia.  Dia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat).

Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe.

Pendidikan

Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Setamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan dan lulus pada tahun  1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah.

Di sana dia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Amir Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang g4dis remaja.

Sekitar tahun 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya.

Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu yang terbit pada tahun 1943. Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.

Setelah menyelesaikan studinya di Solo, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, rasa kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah semakin kuat dan berpengaruh pada wataknya. Bersama beberapa orang rekannya di Perguruan Rakyat, termasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe.

Karya

Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “M4buk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Sejak saat itu, banyak sekali karya sastra yang dibuat oleh Amir Hamzah.

Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (EYD: "Nyanyi Sunyi", 1937) dan Boeah Rindoe (EYD: "Buah Rindu", 1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Meninggal dunia

Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Dia menjadi salah satu korban penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Pesindo. Kala itu pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah pada 7 Maret 1946. Pada tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati. Amir Hamzah wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi. Amir Hamzah kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Hingga kematiannya, Amir Hamzah telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu.

Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" (EYD:"Raja Penyair Zaman Pujangga Baru") dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.